Aktivis muda Aceh, Rahul Mahfud
dan Alim Syahyujar, Melalaui rilisnya yang dikirm ke newsrbaceh.com, Kamis 12
Juni 2025, menilai bahwa konser tersebut menunjukkan lemahnya kepekaan terhadap
kearifan lokal dan prinsip-prinsip sosial keislaman.
Mereka mempertanyakan
keterlibatan otoritas adat, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), dan tokoh
agama dalam proses perencanaan acara, yang dianggap penting dalam menjaga
marwah budaya Aceh sebagai daerah bersyariat.
“Konser musik populer seperti ini
bukan persoalan siapa yang tampil, tapi bagaimana panitia mampu menyelaraskan
antara hiburan dan nilai religius yang dijaga oleh masyarakat. Apakah ada
pemisahan gender? Apakah konten lagu disaring dengan mempertimbangkan
norma-norma lokal?” kata Rahul Mahfud kepada media.
Ia juga menyinggung reputasi
Hindia yang sempat memicu kontroversi dalam beberapa penampilan sebelumnya
karena visualisasi dan narasi yang dianggap tidak sensitif terhadap nilai
religius. “Di daerah seperti Aceh, konser seperti ini harus dikelola dengan hati-hati.
Kalau tidak, justru menimbulkan resistensi publik,” ujarnya.
Sementara itu, Alim Syahyujar
menggarisbawahi bahwa pentingnya pelibatan tokoh adat dan MPU dalam setiap
penyelenggaraan acara publik berskala besar bukan untuk membatasi kreativitas,
tetapi untuk menjembatani nilai seni dan etika budaya setempat.
“Budaya bukan tembok penghalang,
tapi bingkai yang melindungi martabat masyarakat. Bila konser ini dilakukan
tanpa partisipasi aktif unsur MPU dan aparat daerah, kita khawatir justru
menjadi sumber ketegangan sosial yang seharusnya bisa dihindari,” tegas Alim.
Keduanya sepakat bahwa seni dan
hiburan tetap bisa tumbuh di Aceh, asalkan dikelola dengan menghargai konteks
lokal. Dengan begitu, Aceh bisa menjadi contoh harmonisasi antara modernitas
dan nilai-nilai Islam, bukan medan benturan dua arus besar.
Konser Hindia di Banda Aceh pun
kini berada di bawah sorotan tajam: apakah akan menjadi ajang selebrasi seni
yang bijak, atau justru memicu polemik baru dalam ruang publik Aceh yang sarat
nilai dan norma.
Penulis: Rahul Mahfud dan Alim
Syahyujar Aktivis Aceh