![]() |
Asas Praduga Tak Bersalah dalam Bayang-Bayang Kriminalisasi Lingkungan |
Dalam wacana hukum modern, terutama dalam sistem hukum pidana, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) merupakan sendi fundamental dari sistem peradilan yang adil (fair trial). Ia bukan hanya prinsip prosedural, melainkan juga prinsip etik dan konstitusional yang menjamin bahwa setiap individu memperoleh perlindungan dari potensi penyalahgunaan kewenangan negara. Dalam konteks hukum lingkungan, prinsip ini memperoleh tantangan baru: bagaimana menyeimbangkan urgensi penyelamatan lingkungan dengan hak individu untuk tidak diperlakukan sebagai bersalah sebelum terbukti melalui proses hukum yang sah?
Isu ini tidak hanya bersifat
normatif, tetapi juga mencerminkan konflik struktural antara perlindungan
ekosistem yang bersifat kolektif dan kepastian hukum bagi subjek hukum yang
bersifat individual. Maka, artikel ini berupaya membedah lebih dalam bagaimana
asas praduga tak bersalah dapat dipertahankan sebagai prinsip utama dalam
penegakan hukum lingkungan yang kerap dipenuhi dengan tekanan moral, opini
publik, dan kompleksitas teknis.
Fondasi Yuridis dan
Konstitusional Asas Praduga Tak Bersalah
Secara yuridis, asas praduga tak
bersalah telah menjadi bagian integral dari sistem hukum nasional dan
internasional. Di tingkat nasional, Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya secara sah dan meyakinkan.
Asas ini juga mendapatkan
pengakuan dalam Pasal 14 ayat (2) ICCPR yang menyatakan bahwa setiap orang yang
didakwa melakukan tindak pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai
terbukti bersalah menurut hukum. Ratifikasi ICCPR oleh Indonesia melalui UU No.
12 Tahun 2005 memberikan kekuatan hukum langsung yang mengikat asas tersebut
dalam sistem hukum nasional.
Lebih dari sekadar pengakuan
normatif, asas ini merupakan manifestasi langsung dari prinsip negara hukum
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam pengertian
Rechtsstaat menurut Friedrich Julius Stahl, negara hukum menuntut agar kekuasaan
tunduk pada hukum dan menjamin perlindungan hak asasi manusia. Maka,
pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah dalam penegakan hukum, termasuk
dalam perkara lingkungan, sejatinya merupakan pelanggaran konstitusional.
Hukum Lingkungan dan Paradoks
Penegakan: Keadilan versus Ketergesaan
Hukum lingkungan hidup berada
dalam posisi yang unik. Di satu sisi, ia mengemban misi melindungi hak generasi
sekarang dan mendatang terhadap lingkungan yang sehat dan lestari (Pasal 28H
ayat (1) UUD 1945). Di sisi lain, ia juga rentan menjadi alat represif ketika
digunakan tanpa kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum pidana, termasuk asas
praduga tak bersalah.
Dalam praktiknya, banyak perkara
lingkungan dimulai dengan tekanan sosial, liputan media, bahkan tuntutan moral
dari kelompok masyarakat sipil. Tekanan ini kerap kali menyebabkan lembaga
penegak hukum terperangkap dalam logika demonstrative justice—yakni kebutuhan
untuk menunjukkan ketegasan negara dalam waktu singkat, tanpa memperhatikan
kualitas dan keadilan proses hukum. Akibatnya, individu atau korporasi yang
dituduh melakukan pencemaran lingkungan segera dicap sebagai bersalah bahkan
sebelum penyidikan selesai dilakukan.
Fenomena semacam ini secara nyata
bertentangan dengan prinsip audi et alteram partem (dengar kedua belah pihak)
dan in dubio pro reo (dalam keraguan harus berpihak pada terdakwa). Jika
dibiarkan, maka penegakan hukum lingkungan tidak hanya kehilangan legitimasi
moral, tetapi juga menjauh dari idealitas sistem peradilan pidana yang
demokratis.
Dimensi Epistemologis:
Pembuktian Ilmiah dan Tantangan Obyektivitas
Perkara pidana lingkungan hidup
memiliki karakteristik teknis yang tidak dimiliki oleh perkara pidana
konvensional. Dugaan tindak pidana seperti pencemaran air, udara, atau tanah
memerlukan pembuktian yang berbasis sains dan teknologi. Data kualitas air,
emisi gas buang, hingga dampak biologis terhadap ekosistem menjadi elemen
penting dalam konstruksi alat bukti.
Namun, epistemologi pembuktian
ilmiah berbeda dengan logika hukum formal. Bukti ilmiah bersifat probabilistik,
kompleks, dan sering kali interpretatif. Oleh karena itu, pemanfaatan
keterangan ahli dalam perkara lingkungan harus didasarkan pada prinsip scientific
validity dan methodological transparency. Keterangan ahli yang digunakan
sebagai alat bukti harus diverifikasi secara ketat, agar tidak menjadi alat
kriminalisasi yang dibungkus jargon ilmiah.
Dalam konteks ini, asas praduga
tak bersalah berfungsi sebagai penyeimbang terhadap potensi bias saintifik dan
keterbatasan teknis aparat hukum. Ia menjadi pengingat bahwa setiap bentuk
dugaan harus diuji melalui proses yang objektif, rasional, dan dapat
dipertanggungjawabkan, bukan berdasarkan asumsi atau narasi populis semata.
Harmonisasi Instrumen Hukum:
Mendorong Pendekatan Responsif dan Progresif
Untuk memastikan penerapan asas
praduga tak bersalah secara utuh dalam perkara lingkungan, dibutuhkan
harmonisasi menyeluruh antara berbagai peraturan perundang-undangan. KUHAP
sebagai dasar hukum acara pidana harus dikaitkan secara sistematis dengan UU No.
32 Tahun 2009 tentang PPLH, agar tidak terjadi tumpang tindih atau kekosongan
norma.
Pendekatan ini sejalan dengan
doktrin responsive law yang dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip
Selznick, di mana hukum tidak semata-mata bersifat represif, tetapi juga
adaptif terhadap dinamika sosial dan teknologi. Penegakan hukum lingkungan
harus menampilkan wajah hukum yang tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi
juga melindungi hak konstitusional warga negara untuk diperlakukan secara adil
dan bermartabat.
Dengan demikian, kebijakan hukum
lingkungan yang progresif seharusnya menempatkan hukum pidana sebagai ultimum
remedium, bukan primum remedium. Langkah-langkah administratif, sanksi
administratif, mediasi lingkungan, serta restorative justice seharusnya dioptimalkan
terlebih dahulu sebelum tindakan represif dijalankan.
Rekonstruksi Sistemik:
Membangun Penegakan Hukum yang Adil dan Profesional
Untuk mewujudkan sistem hukum
lingkungan yang menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, dibutuhkan
reformasi struktural dan kultural dalam lembaga-lembaga penegak hukum.
Kapasitas teknis penyidik, penuntut umum, hingga hakim harus diperkuat dengan
pelatihan interdisipliner yang mencakup hukum, ekologi, dan forensik
lingkungan.
Selain itu, pengawasan eksternal
oleh lembaga independen, seperti Komisi Yudisial, Ombudsman, dan Komnas HAM,
perlu diperluas agar mampu memantau praktik penyidikan dan penuntutan dalam
perkara lingkungan. Partisipasi masyarakat sipil dan ahli lingkungan dalam
proses penyusunan regulasi dan audit lingkungan juga harus ditingkatkan.
Perlu juga dibentuk standar
pembuktian ilmiah dalam perkara pidana lingkungan yang mengintegrasikan
prinsip-prinsip best available science, peer review, dan chain of custody. Hal
ini penting agar keterangan ahli dan bukti ilmiah yang digunakan di pengadilan
benar-benar dapat diandalkan dan tidak menyesatkan proses peradilan.
Praduga Tak Bersalah sebagai
Jantung Negara Hukum
Asas praduga tak bersalah bukan
sekadar prosedur hukum, tetapi jantung dari sistem peradilan pidana yang
bermartabat. Dalam konteks hukum lingkungan, asas ini menjadi pagar normatif
agar negara tidak tergelincir dalam otoritarianisme hukum atas nama perlindungan
lingkungan.
Penguatan asas ini tidak berarti
mengendurkan komitmen terhadap keberlanjutan ekologi, tetapi justru menegaskan
bahwa keadilan ekologis hanya dapat dicapai melalui proses hukum yang adil,
transparan, dan akuntabel. Negara hukum yang sejati adalah negara yang mampu
menyeimbangkan perlindungan lingkungan dengan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, bukan negara yang mengorbankan yang satu demi yang lain.
Dengan demikian, penegakan hukum
lingkungan tidak boleh didasarkan pada semangat balas dendam ekologis,
melainkan pada prinsip keadilan yang menyeluruh: adil bagi alam, adil bagi
masyarakat, dan adil bagi setiap individu yang berhadapan dengan hukum.
Ditulis oleh Penulis: Hasan Basri, S.H., M.H.,
Ramazani Akbar, Livia Atikah Abdi, Mawardatul Awla, Affandi Akbar, Maulidar Sh
Putri dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Aceh.