• Topik Utama

    Copyright © Berita Aceh Terkini
    Best Viral Premium Blogger Templates
    NEWS RBACEH :
    Raja Baginda...

    Iklan

    Asas Praduga Tak Bersalah dalam Bayang-Bayang Kriminalisasi Lingkungan

    Admin
    7/02/25, 13:48 WIB Last Updated 2025-07-02T06:48:41Z

    Asas Praduga Tak Bersalah dalam Bayang-Bayang Kriminalisasi Lingkungan 

    Dalam wacana hukum modern, terutama dalam sistem hukum pidana, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) merupakan sendi fundamental dari sistem peradilan yang adil (fair trial). Ia bukan hanya prinsip prosedural, melainkan juga prinsip etik dan konstitusional yang menjamin bahwa setiap individu memperoleh perlindungan dari potensi penyalahgunaan kewenangan negara. Dalam konteks hukum lingkungan, prinsip ini memperoleh tantangan baru: bagaimana menyeimbangkan urgensi penyelamatan lingkungan dengan hak individu untuk tidak diperlakukan sebagai bersalah sebelum terbukti melalui proses hukum yang sah?

     

    Isu ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga mencerminkan konflik struktural antara perlindungan ekosistem yang bersifat kolektif dan kepastian hukum bagi subjek hukum yang bersifat individual. Maka, artikel ini berupaya membedah lebih dalam bagaimana asas praduga tak bersalah dapat dipertahankan sebagai prinsip utama dalam penegakan hukum lingkungan yang kerap dipenuhi dengan tekanan moral, opini publik, dan kompleksitas teknis.

     

    Fondasi Yuridis dan Konstitusional Asas Praduga Tak Bersalah

     

    Secara yuridis, asas praduga tak bersalah telah menjadi bagian integral dari sistem hukum nasional dan internasional. Di tingkat nasional, Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya secara sah dan meyakinkan.

     

    Asas ini juga mendapatkan pengakuan dalam Pasal 14 ayat (2) ICCPR yang menyatakan bahwa setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum. Ratifikasi ICCPR oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 memberikan kekuatan hukum langsung yang mengikat asas tersebut dalam sistem hukum nasional.

     

    Lebih dari sekadar pengakuan normatif, asas ini merupakan manifestasi langsung dari prinsip negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam pengertian Rechtsstaat menurut Friedrich Julius Stahl, negara hukum menuntut agar kekuasaan tunduk pada hukum dan menjamin perlindungan hak asasi manusia. Maka, pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah dalam penegakan hukum, termasuk dalam perkara lingkungan, sejatinya merupakan pelanggaran konstitusional.

     

    Hukum Lingkungan dan Paradoks Penegakan: Keadilan versus Ketergesaan

     

    Hukum lingkungan hidup berada dalam posisi yang unik. Di satu sisi, ia mengemban misi melindungi hak generasi sekarang dan mendatang terhadap lingkungan yang sehat dan lestari (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945). Di sisi lain, ia juga rentan menjadi alat represif ketika digunakan tanpa kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum pidana, termasuk asas praduga tak bersalah.

     

    Dalam praktiknya, banyak perkara lingkungan dimulai dengan tekanan sosial, liputan media, bahkan tuntutan moral dari kelompok masyarakat sipil. Tekanan ini kerap kali menyebabkan lembaga penegak hukum terperangkap dalam logika demonstrative justice—yakni kebutuhan untuk menunjukkan ketegasan negara dalam waktu singkat, tanpa memperhatikan kualitas dan keadilan proses hukum. Akibatnya, individu atau korporasi yang dituduh melakukan pencemaran lingkungan segera dicap sebagai bersalah bahkan sebelum penyidikan selesai dilakukan.

     

    Fenomena semacam ini secara nyata bertentangan dengan prinsip audi et alteram partem (dengar kedua belah pihak) dan in dubio pro reo (dalam keraguan harus berpihak pada terdakwa). Jika dibiarkan, maka penegakan hukum lingkungan tidak hanya kehilangan legitimasi moral, tetapi juga menjauh dari idealitas sistem peradilan pidana yang demokratis.

     

    Dimensi Epistemologis: Pembuktian Ilmiah dan Tantangan Obyektivitas

     

    Perkara pidana lingkungan hidup memiliki karakteristik teknis yang tidak dimiliki oleh perkara pidana konvensional. Dugaan tindak pidana seperti pencemaran air, udara, atau tanah memerlukan pembuktian yang berbasis sains dan teknologi. Data kualitas air, emisi gas buang, hingga dampak biologis terhadap ekosistem menjadi elemen penting dalam konstruksi alat bukti.

     

    Namun, epistemologi pembuktian ilmiah berbeda dengan logika hukum formal. Bukti ilmiah bersifat probabilistik, kompleks, dan sering kali interpretatif. Oleh karena itu, pemanfaatan keterangan ahli dalam perkara lingkungan harus didasarkan pada prinsip scientific validity dan methodological transparency. Keterangan ahli yang digunakan sebagai alat bukti harus diverifikasi secara ketat, agar tidak menjadi alat kriminalisasi yang dibungkus jargon ilmiah.

     

    Dalam konteks ini, asas praduga tak bersalah berfungsi sebagai penyeimbang terhadap potensi bias saintifik dan keterbatasan teknis aparat hukum. Ia menjadi pengingat bahwa setiap bentuk dugaan harus diuji melalui proses yang objektif, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan berdasarkan asumsi atau narasi populis semata.

     

    Harmonisasi Instrumen Hukum: Mendorong Pendekatan Responsif dan Progresif

     

    Untuk memastikan penerapan asas praduga tak bersalah secara utuh dalam perkara lingkungan, dibutuhkan harmonisasi menyeluruh antara berbagai peraturan perundang-undangan. KUHAP sebagai dasar hukum acara pidana harus dikaitkan secara sistematis dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, agar tidak terjadi tumpang tindih atau kekosongan norma.

     

    Pendekatan ini sejalan dengan doktrin responsive law yang dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, di mana hukum tidak semata-mata bersifat represif, tetapi juga adaptif terhadap dinamika sosial dan teknologi. Penegakan hukum lingkungan harus menampilkan wajah hukum yang tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga melindungi hak konstitusional warga negara untuk diperlakukan secara adil dan bermartabat.

     

    Dengan demikian, kebijakan hukum lingkungan yang progresif seharusnya menempatkan hukum pidana sebagai ultimum remedium, bukan primum remedium. Langkah-langkah administratif, sanksi administratif, mediasi lingkungan, serta restorative justice seharusnya dioptimalkan terlebih dahulu sebelum tindakan represif dijalankan.

     

    Rekonstruksi Sistemik: Membangun Penegakan Hukum yang Adil dan Profesional

     

    Untuk mewujudkan sistem hukum lingkungan yang menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, dibutuhkan reformasi struktural dan kultural dalam lembaga-lembaga penegak hukum. Kapasitas teknis penyidik, penuntut umum, hingga hakim harus diperkuat dengan pelatihan interdisipliner yang mencakup hukum, ekologi, dan forensik lingkungan.

     

    Selain itu, pengawasan eksternal oleh lembaga independen, seperti Komisi Yudisial, Ombudsman, dan Komnas HAM, perlu diperluas agar mampu memantau praktik penyidikan dan penuntutan dalam perkara lingkungan. Partisipasi masyarakat sipil dan ahli lingkungan dalam proses penyusunan regulasi dan audit lingkungan juga harus ditingkatkan.

     

    Perlu juga dibentuk standar pembuktian ilmiah dalam perkara pidana lingkungan yang mengintegrasikan prinsip-prinsip best available science, peer review, dan chain of custody. Hal ini penting agar keterangan ahli dan bukti ilmiah yang digunakan di pengadilan benar-benar dapat diandalkan dan tidak menyesatkan proses peradilan.

     

    Praduga Tak Bersalah sebagai Jantung Negara Hukum

     

    Asas praduga tak bersalah bukan sekadar prosedur hukum, tetapi jantung dari sistem peradilan pidana yang bermartabat. Dalam konteks hukum lingkungan, asas ini menjadi pagar normatif agar negara tidak tergelincir dalam otoritarianisme hukum atas nama perlindungan lingkungan.

     

    Penguatan asas ini tidak berarti mengendurkan komitmen terhadap keberlanjutan ekologi, tetapi justru menegaskan bahwa keadilan ekologis hanya dapat dicapai melalui proses hukum yang adil, transparan, dan akuntabel. Negara hukum yang sejati adalah negara yang mampu menyeimbangkan perlindungan lingkungan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia, bukan negara yang mengorbankan yang satu demi yang lain.

     

    Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan tidak boleh didasarkan pada semangat balas dendam ekologis, melainkan pada prinsip keadilan yang menyeluruh: adil bagi alam, adil bagi masyarakat, dan adil bagi setiap individu yang berhadapan dengan hukum.

     

    Ditulis oleh Penulis: Hasan Basri, S.H., M.H., Ramazani Akbar, Livia Atikah Abdi, Mawardatul Awla, Affandi Akbar, Maulidar Sh Putri dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Aceh.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Nasional

    +