• Topik Utama

    Copyright © Berita Aceh Terkini
    Best Viral Premium Blogger Templates
    NEWS RBACEH :
    Raja Baginda...

    Iklan

    Empat Pulau Milik Aceh: Antara Fakta, Sejarah, dan Keadilan Administratif

    Admin
    6/15/25, 12:39 WIB Last Updated 2025-06-15T05:39:47Z

     

    Ramazani Akbar – Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh


    NEWSRBACEH I BANDA ACEH - Ramazani Akbar – Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Terkait Sengketa wilayah bukanlah perkara yang hanya berpijak pada koordinat geografis. Ia menyentuh sesuatu yang jauh lebih dalam: identitas, sejarah, dan harga diri masyarakat.

     

    Itulah yang kini tengah terjadi dalam polemik penetapan empat pulau di wilayah Aceh Singkil Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang (Mangkir Besar) dan Pulau Mangkir Ketek (Mangkir Kecil) yang oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 secara administratif ditetapkan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

     

    Keputusan tersebut memantik reaksi keras dari masyarakat Aceh, yang melihat bahwa bukan hanya wilayah yang dipindahkan, melainkan juga potongan sejarah dan legitimasi yang selama ini mereka jaga. Pemerintah Aceh, meski menyampaikan keberatan, memilih untuk menempuh jalur administratif dan politis ketimbang jalur hukum formal melalui pengadilan tata usaha negara. Sebuah langkah yang mencerminkan kehati-hatian dan kehendak menjaga stabilitas sosial-politik, namun tidak boleh dipahami sebagai kelemahan.

     

    Dari sudut pandang hukum administrasi, keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut jelas merupakan produk dari diskresi pemerintah pusat. Namun diskresi bukan berarti bebas nilai. Dalam perspektif yang dikemukakan oleh Prof. Philipus M. Hadjon, diskresi pemerintahan harus tunduk pada prinsip-prinsip ABBB (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) atau asas-asas umum pemerintahan yang baik, termasuk prinsip keterbukaan, akuntabilitas, proporsionalitas, dan keadilan.

     

    Dalam konteks inilah, dapat dipertanyakan sejauh mana proses penetapan keputusan tersebut telah melibatkan Pemerintah Aceh secara substansial dan bukan hanya prosedural.

     

    Lebih lanjut, Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah memberikan dasar bahwa penetapan batas wilayah dapat menggunakan dokumen kesepakatan antarpemerintah daerah sebagai landasan sah. Dalam kasus ini, dokumen perbatasan laut yang telah disepakati sejak tahun 1992 antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, menjadi argumen legal yang kuat dan tidak boleh diabaikan begitu saja. Mengabaikan dokumen tersebut dan menggantinya dengan pembacaan sepihak atas data rupa bumi dan verifikasi topografi, dikhawatirkan justru mengurangi prinsip legitimate expectation dalam praktik administrasi pemerintahan.

     

    Keputusan administratif yang legal dari sisi formil, dapat kehilangan legitimasi sosial jika tidak berpijak pada realitas historis dan sosiokultural masyarakat. Empat pulau tersebut, sejak lama terintegrasi dalam sistem sosial dan pemerintahan Aceh. Kehidupan masyarakatnya terhubung dengan Aceh Singkil, baik secara administrasi pelayanan publik, hubungan ekonomi, hingga praktik keagamaan dan adat. Pendekatan yang hanya mengandalkan teknologi peta tanpa menyentuh kedalaman identitas kolektif masyarakat berisiko menciptakan alienasi, bahkan resistensi sosial.

     

    Pandangan ini selaras dengan pendekatan sosiologi hukum yang menekankan pentingnya legitimasi sosial dalam setiap kebijakan hukum. Seorang tokoh penting, Prof. Satjipto Rahardjo, sering menekankan bahwa hukum harus bekerja untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Ketika masyarakat merasa hukum berjalan tanpa mempertimbangkan hak dan sejarah mereka, maka hukum akan kehilangan aspek keadilannya.

     

    Dalam konteks politik kewilayahan, sengketa ini menjadi uji lakmus sejauh mana pusat menghargai otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh memiliki status kekhususan yang tidak dimiliki provinsi lain, sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 8 UU tersebut secara tegas memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh dalam mengatur urusan kewilayahan. Maka menjadi anomali ketika keputusan sebesar ini lahir tanpa melibatkan secara penuh subjek hukum yang memiliki kedudukan khusus secara konstitusional.

     

    Jika kita merujuk pada teori integrasi dari Karl W. Deutsch, stabilitas suatu negara tidak hanya dibentuk oleh ketaatan struktural, tetapi juga keterikatan emosional dan partisipasi kolektif warganya. Keputusan yang bersifat sentralistik dan sepihak atas wilayah yang secara historis dan emosional menjadi bagian dari Aceh dapat berujung pada retaknya rasa memiliki terhadap negara itu sendiri. Negara bukan semata entitas birokratis, ia adalah kesepakatan emosional yang hidup dan dijaga bersama.

     

    Pemerintah Aceh telah menunjukkan kebijaksanaan yang luhur. Alih-alih mengajukan gugatan hukum, Aceh memilih jalur dialogis dan administratif dengan tetap mempertahankan hak konstitusionalnya. Pendekatan ini, walau tampak pasif, sebenarnya menunjukkan kedewasaan dan watak konstruktif dari pemerintah daerah. Namun ini pula yang harus dibaca dengan jernih oleh Pemerintah Pusat: kebijaksanaan tidak boleh dianggap sebagai kelemahan. Karena ketika jalur dialog dibiarkan macet dan keputusan sepihak terus diberlakukan, maka ruang publik akan terisi oleh narasi-narasi ekstrem yang justru membahayakan kohesi nasional.

     

    Rencana Kemendagri untuk melakukan kaji ulang dengan mempertemukan Gubernur Aceh dan Sumatera Utara pada pertengahan Juni 2025 nanti menjadi peluang krusial. Namun mediasi ini harus lebih dari sekadar seremoni politik. Ia harus menjadi arena pertukaran data, sejarah, dan komitmen kebangsaan. Keputusan akhir yang adil bukanlah yang hanya sah secara administratif, tetapi juga sah secara moral dan historis.

     

    Tugas negara hari ini adalah memulihkan kepercayaan publik, merawat keadilan spasial, dan menegaskan bahwa integrasi Indonesia dibangun atas dasar partisipasi dan pengakuan, bukan dominasi. Empat pulau ini adalah cermin bagaimana negara memperlakukan ruang hidup masyarakatnya. Apakah sebagai objek yang bisa dipindahkan sesuka kehendak, atau sebagai subjek yang dihormati dalam martabatnya?

     

    Penetapan wilayah harus menyatukan, bukan memisahkan. Menenangkan, bukan mengguncang. Dan dalam konteks Aceh, penegakan hukum administratif seharusnya selaras dengan jiwa rekonsiliasi yang menjadi dasar perdamaian pasca-konflik. Maka, yang dibutuhkan kini bukan hanya koordinat, tetapi keadilan. Bukan sekadar verifikasi peta, tetapi verifikasi sejarah. Bukan hanya kebijakan, tetapi kebijaksanaan.

     

    Empat pulau ini hanyalah bagian kecil dari wilayah Indonesia, tetapi menyimpan pelajaran besar tentang bagaimana hukum, politik, dan sejarah seharusnya diramu dalam satu semangat: menjaga Indonesia tetap satu, adil, dan bermartabat. Dan dalam semangat itu pula, kita harus menyatakan dengan jernih, berdasar data dan akal sehat, bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian yang sah, bersejarah, dan bermartabat dari Tanah Aceh. Bukan karena emosi, tetapi karena legitimasi yang lahir dari fakta, bukti, serta akar kehidupan masyarakat yang telah menyatu lama dalam nadi Aceh itu sendiri.


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Nasional

    +