![]() |
Ramazani Akbar – Ketua Umum Badan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
NEWSRBACEH I BANDA ACEH - Ramazani
Akbar – Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Malikussaleh, Terkait Sengketa wilayah bukanlah perkara yang hanya berpijak
pada koordinat geografis. Ia menyentuh sesuatu yang jauh lebih dalam:
identitas, sejarah, dan harga diri masyarakat.
Itulah yang kini tengah terjadi
dalam polemik penetapan empat pulau di wilayah Aceh Singkil Pulau Panjang,
Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang (Mangkir Besar) dan Pulau Mangkir Ketek
(Mangkir Kecil) yang oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138
Tahun 2025 secara administratif ditetapkan masuk ke dalam wilayah Kabupaten
Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Keputusan tersebut memantik
reaksi keras dari masyarakat Aceh, yang melihat bahwa bukan hanya wilayah yang
dipindahkan, melainkan juga potongan sejarah dan legitimasi yang selama ini
mereka jaga. Pemerintah Aceh, meski menyampaikan keberatan, memilih untuk
menempuh jalur administratif dan politis ketimbang jalur hukum formal melalui
pengadilan tata usaha negara. Sebuah langkah yang mencerminkan kehati-hatian
dan kehendak menjaga stabilitas sosial-politik, namun tidak boleh dipahami
sebagai kelemahan.
Dari sudut pandang hukum
administrasi, keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut jelas merupakan produk
dari diskresi pemerintah pusat. Namun diskresi bukan berarti bebas nilai. Dalam
perspektif yang dikemukakan oleh Prof. Philipus M. Hadjon, diskresi pemerintahan
harus tunduk pada prinsip-prinsip ABBB (algemene beginselen van behoorlijk
bestuur) atau asas-asas umum pemerintahan yang baik, termasuk prinsip
keterbukaan, akuntabilitas, proporsionalitas, dan keadilan.
Dalam konteks inilah, dapat
dipertanyakan sejauh mana proses penetapan keputusan tersebut telah melibatkan
Pemerintah Aceh secara substansial dan bukan hanya prosedural.
Lebih lanjut, Permendagri No. 141
Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah memberikan dasar bahwa penetapan
batas wilayah dapat menggunakan dokumen kesepakatan antarpemerintah daerah
sebagai landasan sah. Dalam kasus ini, dokumen perbatasan laut yang telah
disepakati sejak tahun 1992 antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara,
menjadi argumen legal yang kuat dan tidak boleh diabaikan begitu saja.
Mengabaikan dokumen tersebut dan menggantinya dengan pembacaan sepihak atas
data rupa bumi dan verifikasi topografi, dikhawatirkan justru mengurangi
prinsip legitimate expectation dalam praktik administrasi pemerintahan.
Keputusan administratif yang
legal dari sisi formil, dapat kehilangan legitimasi sosial jika tidak berpijak
pada realitas historis dan sosiokultural masyarakat. Empat pulau tersebut,
sejak lama terintegrasi dalam sistem sosial dan pemerintahan Aceh. Kehidupan
masyarakatnya terhubung dengan Aceh Singkil, baik secara administrasi pelayanan
publik, hubungan ekonomi, hingga praktik keagamaan dan adat. Pendekatan yang
hanya mengandalkan teknologi peta tanpa menyentuh kedalaman identitas kolektif
masyarakat berisiko menciptakan alienasi, bahkan resistensi sosial.
Pandangan ini selaras dengan
pendekatan sosiologi hukum yang menekankan pentingnya legitimasi sosial dalam
setiap kebijakan hukum. Seorang tokoh penting, Prof. Satjipto Rahardjo, sering
menekankan bahwa hukum harus bekerja untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Ketika masyarakat merasa hukum berjalan tanpa mempertimbangkan hak dan sejarah
mereka, maka hukum akan kehilangan aspek keadilannya.
Dalam konteks politik
kewilayahan, sengketa ini menjadi uji lakmus sejauh mana pusat menghargai
otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh memiliki
status kekhususan yang tidak dimiliki provinsi lain, sebagaimana tertuang dalam
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 8 UU tersebut secara
tegas memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh dalam mengatur urusan
kewilayahan. Maka menjadi anomali ketika keputusan sebesar ini lahir tanpa
melibatkan secara penuh subjek hukum yang memiliki kedudukan khusus secara
konstitusional.
Jika kita merujuk pada teori
integrasi dari Karl W. Deutsch, stabilitas suatu negara tidak hanya dibentuk
oleh ketaatan struktural, tetapi juga keterikatan emosional dan partisipasi
kolektif warganya. Keputusan yang bersifat sentralistik dan sepihak atas
wilayah yang secara historis dan emosional menjadi bagian dari Aceh dapat
berujung pada retaknya rasa memiliki terhadap negara itu sendiri. Negara bukan
semata entitas birokratis, ia adalah kesepakatan emosional yang hidup dan
dijaga bersama.
Pemerintah Aceh telah menunjukkan
kebijaksanaan yang luhur. Alih-alih mengajukan gugatan hukum, Aceh memilih
jalur dialogis dan administratif dengan tetap mempertahankan hak
konstitusionalnya. Pendekatan ini, walau tampak pasif, sebenarnya menunjukkan
kedewasaan dan watak konstruktif dari pemerintah daerah. Namun ini pula yang
harus dibaca dengan jernih oleh Pemerintah Pusat: kebijaksanaan tidak boleh
dianggap sebagai kelemahan. Karena ketika jalur dialog dibiarkan macet dan
keputusan sepihak terus diberlakukan, maka ruang publik akan terisi oleh
narasi-narasi ekstrem yang justru membahayakan kohesi nasional.
Rencana Kemendagri untuk
melakukan kaji ulang dengan mempertemukan Gubernur Aceh dan Sumatera Utara pada
pertengahan Juni 2025 nanti menjadi peluang krusial. Namun mediasi ini harus
lebih dari sekadar seremoni politik. Ia harus menjadi arena pertukaran data,
sejarah, dan komitmen kebangsaan. Keputusan akhir yang adil bukanlah yang hanya
sah secara administratif, tetapi juga sah secara moral dan historis.
Tugas negara hari ini adalah
memulihkan kepercayaan publik, merawat keadilan spasial, dan menegaskan bahwa
integrasi Indonesia dibangun atas dasar partisipasi dan pengakuan, bukan
dominasi. Empat pulau ini adalah cermin bagaimana negara memperlakukan ruang
hidup masyarakatnya. Apakah sebagai objek yang bisa dipindahkan sesuka
kehendak, atau sebagai subjek yang dihormati dalam martabatnya?
Penetapan wilayah harus
menyatukan, bukan memisahkan. Menenangkan, bukan mengguncang. Dan dalam konteks
Aceh, penegakan hukum administratif seharusnya selaras dengan jiwa rekonsiliasi
yang menjadi dasar perdamaian pasca-konflik. Maka, yang dibutuhkan kini bukan
hanya koordinat, tetapi keadilan. Bukan sekadar verifikasi peta, tetapi
verifikasi sejarah. Bukan hanya kebijakan, tetapi kebijaksanaan.
Empat pulau ini hanyalah bagian
kecil dari wilayah Indonesia, tetapi menyimpan pelajaran besar tentang
bagaimana hukum, politik, dan sejarah seharusnya diramu dalam satu semangat:
menjaga Indonesia tetap satu, adil, dan bermartabat. Dan dalam semangat itu
pula, kita harus menyatakan dengan jernih, berdasar data dan akal sehat, bahwa
keempat pulau tersebut merupakan bagian yang sah, bersejarah, dan bermartabat
dari Tanah Aceh. Bukan karena emosi, tetapi karena legitimasi yang lahir dari
fakta, bukti, serta akar kehidupan masyarakat yang telah menyatu lama dalam
nadi Aceh itu sendiri.