![]() |
DEM Aceh: Empat Pulau Aceh di
Ambang Pengalihan, Ada Apa di Sekitar Blok Singkil?
NEWSRBACEH I LHOKSEUMAWE -
Sebuah keputusan administratif yang dikeluarkan secara diam-diam oleh
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia memantik reaksi keras dari
masyarakat Aceh. Melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138
Tahun 2025, Menteri Tito Karnavian menetapkan empat pulau Pulau Panjang, Pulau
Lipan, Pulau Mangkir Besar (Gadang), dan Pulau Mangkir Kecil (Ketek) sebagai
bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Padahal, selama ini keempat pulau
tersebut telah tercatat secara administratif sebagai bagian dari Kabupaten Aceh
Singkil, Provinsi Aceh.
Dewan Energi Mahasiswa Aceh (DEM
Aceh) dengan tegas mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk segera mengembalikan
keempat pulau tersebut ke wilayah administrasi Aceh. Perubahan sepihak ini
tidak hanya menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, tetapi juga menimbulkan
pertanyaan serius terkait mekanisme dan dasar pengambilan keputusan oleh
pemerintah pusat.
Presiden DEM Aceh, Faizar Rianda,
menyatakan bahwa klaim administratif yang hanya berdasar pada data geospasial
tidak bisa menghapus fakta sosial, sejarah kependudukan, dan keterikatan budaya
masyarakat yang telah hidup di wilayah tersebut selama puluhan tahun.
“Kementerian Dalam Negeri
seharusnya bersikap bijak dan peka terhadap dinamika sosial yang telah lama
tumbuh di kawasan ini. Pengambilan keputusan administratif yang tidak
partisipatif justru berpotensi mencederai rasa keadilan dan memicu kegaduhan,”
ujar Faizar dalam pernyataan resminya kepada wartawan, Jumat pekan ini.
Lebih jauh, DEM Aceh menyoroti
kemungkinan adanya keterkaitan strategis antara keempat pulau tersebut dengan
wilayah eksplorasi migas Blok Singkil (Offshore West Aceh/OSWA), yang saat ini
berada di bawah pengelolaan Conrad Asia Energy. Berdasarkan peta eksplorasi
yang dirilis Conrad pada Februari 2024, wilayah Singkil tercatat memiliki
potensi gas alam dengan estimasi probabilitas: P90 sebesar 45 BSCF, P50 sebesar
75 BSCF, dan P10 sebesar 83 BSCF. Estimasi ini mencerminkan berbagai tingkat
keyakinan dari konservatif hingga optimistis atas potensi cadangan tersebut.
“Meskipun empat pulau tersebut
tidak termasuk langsung ke dalam area temuan potensi gas, letak geografisnya
yang sangat berdekatan menimbulkan pertanyaan atas urgensi pengalihan
administratif wilayah ini ke Sumatera Utara,” kata Faizar.
Ia menambahkan bahwa keempat
pulau tersebut masuk dalam wilayah studi bersama (joint study) untuk penilaian
eksplorasi lanjutan, sehingga letaknya yang strategis tidak bisa diabaikan.
“Karena letaknya strategis,
pengalihan ini terasa janggal dan sulit dipisahkan dari isu pengelolaan sumber
daya alam,” tegasnya.
Meski begitu, Faizar mengingatkan
bahwa dalam dunia eksplorasi migas, potensi semata tidak bisa dijadikan dasar
kebijakan strategis tanpa kajian geologi yang mendalam dan verifikasi terhadap
asumsi cadangan. Estimasi gas sebesar 45 hingga 83 BSCF memang menarik di atas
kertas, tetapi masih bersifat probabilistik dan belum tentu memenuhi syarat
sebagai penemuan yang layak dikomersialkan.
Selain itu, meskipun potensi
energi tersebut terbukti nyata, proses menuju tahap produksi masih membutuhkan
waktu bertahun-tahun—meliputi studi lanjutan, pengeboran eksplorasi, evaluasi
keekonomian, dan tahap pengembangan.
Lebih dari sekadar soal migas,
Faizar menekankan bahwa kekayaan alam Aceh tidak terbatas pada energi fosil,
tetapi juga mencakup tanah, air, hutan, dan biodiversitas laut. Semua itu,
menurutnya, adalah bagian dari entitas geostrategis Aceh yang tidak bisa
dipisahkan atau dikotak-kotakkan secara teknokratis.
“Sumber daya alam tidak hanya
terbatas pada energi fosil seperti minyak dan gas, atau energi terbarukan.
Kekayaan biotik dan abiotik seperti tanah, air, hutan, serta keanekaragaman
hayati juga merupakan bagian penting dari sumber daya alam yang memiliki nilai
strategis bagi Aceh,” ujar Faizar.
Oleh karena itu, polemik
pengalihan empat pulau ini, kata Faizar, bukan semata soal batas wilayah
administratif, melainkan menyangkut isu kedaulatan energi, ekonomi, dan
lingkungan hidup Aceh di masa depan.
Secara historis, geografis, dan
yuridis, keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh. Negara,
dalam hal ini pemerintah pusat, harus hadir dengan sikap tegas dan adil. Bukan
menengahi seolah ini sekadar perbedaan pandangan, tetapi menegakkan kembali
batas yang sah sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi
Aceh.
“Pulau-pulau ini bukan titik di
koordinat, tetapi denyut jantung peradaban yang tak bisa dihapus dengan surat
keputusan. Dan bila harus berlayar kembali demi mempertahankan kedamaian yang
lahir dari luka sejarah, maka rakyat Aceh akan kembali bersuara. Sebab
kedaulatan bukan untuk ditukar, melainkan untuk dijaga, meskipun nantinya tidak
ada potensi migas di dalamnya, ini tetap hak Aceh,” ucap Faizar.
Isu ini semakin mempertegas
kerentanan Aceh terhadap kebijakan pusat yang dianggap kerap mengabaikan
konteks lokal. Dalam sejarah panjang konflik Aceh, penguasaan atas tanah dan
sumber daya selalu menjadi pemicu utama. Maka, ketika kabar pengalihan wilayah
ini mencuat, reaksi keras dari kelompok sipil seperti DEM Aceh adalah hal yang
tak mengejutkan.
Sebagai penutup, Faizar
mengingatkan pemerintah pusat agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu.
“Kedamaian Aceh bukan hadiah. Ia
buah dari perjuangan panjang dan kesepakatan politik yang sah. Jangan ada
kebijakan yang mengusik stabilitas ini. Jangan bangkitkan trauma atas nama
efisiensi administratif.”