![]() |
Koordinator MaTA Alfian saat
diseminasi hasil dan diskusi dengan di Hotel Diana Lhokseumawe, Selasa, 30
September 2025. Foto: newsrbaceh/Raja Baginda
NEWSRBACEH I LHOKSEUMAWE -
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menggelar diseminasi hasil dan diskusi
dengan tema “Menyibak Jejak Perusahaan Sawit di Kawasan Hutan Lindung” di Hotel
Diana, Lhokseumawe, Selasa (30/9/2025).
Dalam kegiatan tersebut, MaTA
memaparkan temuan terkait praktik alih fungsi hutan lindung menjadi perkebunan
kelapa sawit di Aceh Utara yang marak terjadi akibat perambahan oleh
perusahaan.
Diskusi ini menghadirkan sejumlah
narasumber, di antaranya Koordinator MaTA Alfian, Dosen Fakultas Hukum
Universitas Malikussaleh Dr. Yusrijal Hasbi, Ketua Komisi I DPRK Aceh Utara
Tajuddin, Anggota Komisi V DPRK Aceh Utara Anzir, S.H., Kepala DPMPTSP Aceh
Utara Nyak Tiari, serta Kepala Dinas Perkebunan, Peternakan, dan Kesehatan
Hewan Aceh Utara Lilis Indriansyah. Sejumlah aktivis LSM dan jurnalis juga
turut hadir.
Koordinator MaTA, Alfian,
menyampaikan bahwa tujuan diseminasi ini adalah untuk mengungkap dan
mempublikasikan temuan, mendorong penegakan hukum, serta meningkatkan kesadaran
semua pihak terhadap isu perambahan hutan lindung.
Temuan MaTA
Berdasarkan hasil pemantauan,
MaTA menyebutkan PT Ika Bina Agro Wisesa (IBAS) hanya memiliki izin Pabrik
Kelapa Sawit (PKS) berkapasitas 30 ton/jam, namun tidak memiliki Izin Usaha
Perkebunan (IUP-B) maupun Hak Guna Usaha (HGU). Hal ini telah dikonfirmasi ke
dinas terkait.
Perusahaan tersebut juga pernah
mendapat surat peringatan dari KPH Wilayah III Aceh melalui surat No. 522/294
Tahun 2024 agar menghentikan pembukaan lahan di kawasan hutan lindung di
Gampong Lubok Pusaka.
Selain itu, perusahaan
menjanjikan kebun plasma seluas 1.400 hektare kepada 700 KK di Gampong Lubok
Pusaka (2 Ha/KK). Namun, hasil verifikasi menunjukkan 85,72 persen atau 1.200
hektare berada dalam kawasan hutan lindung, dan hanya sekitar 200 hektare di
luar kawasan.
Data yang dipaparkan menunjukkan
bahwa sejak 2018 hingga 2024, Aceh kehilangan 82.894 hektare kawasan hutan
akibat perambahan, ekspansi perkebunan sawit, pertambangan, hingga aktivitas
skala kecil oleh masyarakat. Dari jumlah itu, 8.377 hektare hilang di wilayah
Aceh Utara.
Di Gampong Lubok Pusaka sendiri,
total kawasan hutan lindung mencapai 6.111 hektare. Antara 2018 hingga 2024,
sekitar 80 hektare hutan telah dirambah, dan berdasarkan citra satelit 6
September 2025, angka itu meningkat menjadi 163,75 hektare.
Jenis pohon yang tumbuh di
kawasan hutan lindung ini antara lain meranti, damar, kayu kapur, gaharu,
medang, dan merbau.
MaTA juga mengungkap dugaan
perambahan yang dilakukan oleh SF (46) sejak 2018 dengan izin lisan dari aparat
desa seluas 60 hektare. Sementara itu, pihak perusahaan melalui vendor
disebutkan membuka sekitar 20 hektare untuk kebun plasma.
Perambahan ini menimbulkan
konflik agraria, kerusakan ekologis, dan kerugian perekonomian negara. MaTA
menilai perambahan sekitar ±100 hektare, baik oleh perusahaan maupun oknum
warga, merupakan tindak pidana korupsi yang berpotensi merugikan negara.
Maka dati itu, MaTA menyimpulkan PT
IBAS telah melakukan aktivitas perkebunan tanpa izin sah, baik secara
administratif (IUP, HGU) maupun persetujuan Masyarakat, Perusahaan tersebut diduga
merambah kawasan hutan lindung yang berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis
jangka panjang.
Selanjutnya, Aktivitas penguasaan
tanah garapan warga dilakukan secara tidak transparan dan tidak partisipatif,
sehingga bertentangan dengan prinsip keadilan agrarian dan terdapat dugaan
keterlibatan camat dan aparatur desa dalam memfasilitasi pembukaan hutan
lindung serta skema plasma, yang menempatkan warga sebagai alat legitimasi.
Dalam kesempatan itu, MaTA
merekomendasikan agar Bupati dan DPRK Aceh Utara segera melindungi dan mencegah
perambahan kawasan hutan lindung di Gampong Lubok Pusaka dan segera
menyelesaikan sengketa lahan antara warga dengan PT IBAS.
Untuk Gubernur Aceh agar menertibkan
perkebunan tanpa izin dan perusahaan yang tidak patuh secara hukum maupun
sosial, dan Satgas PKH Kejaksaan Agung melakukan penegakan hukum atas kerugian
negara akibat perambahan hutan lindung serta untuk Masyarakat Aceh, khususnya
yang berada di wilayah hutan, berpartisipasi menjaga sumber daya alam agar
tidak terjadi bencana alam yang merugikan semua pihak.