![]() |
ALSA USK Soroti Isu Pengungsi Rohingya dalam Seminar
Nasional: “Melindungi Kemanusiaan, Menjaga Kedaulatan” |
NEWSRBACEH I BANDA ACEH – Sebagai bagian dari
rangkaian acara Pra-Musywarah Nasional dan ALSA Leadership Training XXXII
(PALT), ALSA Local Chapter Universitas Syiah Kuala (USK) menggelar Seminar
Nasional bertema “Dilema Perlindungan Pengungsi Rohingya di Indonesia dalam
Absennya Ratifikasi Konvensi 1951”.
Acara yang berlangsung di Anjong Mon Mata, Komplek Meuligoe
Gubernur Aceh, Kamis (25/9/2025) ini bertujuan membedah isu kemanusiaan yang
semakin kompleks sekaligus menyoroti tantangan kebijakan yang dihadapi
Indonesia dalam konteks pengungsi lintas negara.
Menghadirkan narasumber berpengalaman dari kalangan
akademisi, praktisi kemanusiaan, hingga perwakilan UNHCR, seminar ini dirancang
untuk memberikan wawasan menyeluruh. Para pembicara mengupas berbagai sudut
pandang dengan tujuan memperdalam pemahaman masyarakat, khususnya generasi
muda, mengenai urgensi perlindungan pengungsi, kompleksitas hukum lintas batas,
serta potensi pembentukan regional customary law di kawasan ASEAN.
Akademisi dan pakar hukum internasional, Aditya Rivaldi,
menjelaskan lima elemen utama yang menjadi syarat seseorang disebut pengungsi
berdasarkan Konvensi 1951, yakni berada di luar negara asal, memiliki ketakutan
beralasan, serta tidak dapat atau tidak mau kembali karena penganiayaan. Ia
juga menekankan prinsip fundamental seperti larangan pemulangan paksa (non-refoulement),
non-diskriminasi, serta hak untuk tidak dipidana meski masuk secara ilegal.
Aditya turut menyinggung posisi sulit nelayan lokal yang
kerap berhadapan dengan dilema hukum. “Mereka seperti keju meleleh dalam
sandwich. Di satu sisi ada hukum negara, di sisi lain ada nilai kemanusiaan
yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Sementara itu, Rahmadi, Field Associate UNHCR, menyebut saat
ini lebih dari 100 juta orang di dunia terpaksa meninggalkan rumah akibat
konflik dan krisis. UNHCR, sebagai badan PBB yang telah beroperasi di 137
negara selama 74 tahun, melindungi tiga kategori utama: pengungsi lintas
negara, orang tanpa kewarganegaraan, dan pengungsi internal.
“Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi 1951, tetapi
tetap mendukung instrumen HAM internasional seperti ICCPR, ICESCR, dan CAT.
Kerja sama antara UNHCR dan Indonesia telah berlangsung sejak 1979,” jelasnya.
Ia menambahkan, perlu adanya pembaruan regulasi dan mekanisme koordinasi cepat,
termasuk hotline antara nelayan dan satuan tugas pengungsi di daerah pesisir.
Dari perspektif lokal, Al Fadhil, Direktur Yayasan
Geutanyoe, menegaskan pentingnya pendekatan berbasis komunitas dalam penanganan
pengungsi. Menurutnya, komunikasi publik yang adil diperlukan agar solidaritas
masyarakat tidak bergeser menjadi konflik sosial. Yayasan Geutanyoe sendiri telah
lama fokus pada isu kemanusiaan sejak pasca-tsunami 2004 dengan misi membangun
komunitas ASEAN yang bermartabat, adil, dan berkelanjutan.
Dalam konteks penegakan hukum, AKP Donna Briadi, S.I.K.,
M.H., Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, memaparkan kronologi penanganan kasus
tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan people smuggling yang melibatkan
pengungsi Rohingya di Aceh. Ia menegaskan sejumlah tersangka telah diamankan
dengan pasal-pasal hukum pidana nasional, lengkap dengan barang bukti yang
memperlihatkan keseriusan aparat dalam membongkar jaringan penyelundupan
manusia.
“Kepolisian berkomitmen tinggi memberantas kejahatan ini.
Kerja sama lintas instansi, termasuk dengan Imigrasi, pemerintah daerah, dan
lembaga internasional, sangat penting untuk memastikan penanganan pengungsi
yang aman dan bebas dari eksploitasi,” tegas Donna.
Seminar ini ditutup dengan seruan agar isu pengungsi
ditangani secara berkeadilan dan bermartabat melalui kolaborasi multisektor.
Bagi ALSA Local Chapter USK, kegiatan ini tidak hanya menjadi ruang diskusi,
tetapi juga bentuk nyata komitmen mahasiswa hukum dalam mengembangkan
intelektualitas sekaligus kepedulian sosial.
Harapannya, diskusi-diskusi serupa dapat memicu perubahan
nyata, baik dalam ranah kebijakan maupun praktik kemanusiaan di lapangan.