![]() |
pemerhati kepemiluan dan aktivis demokrasi, Muhammad Rajief |
NEWSRBACEH I ACEH—
Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk menghentikan
proses pemeriksaan perkara dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pilkada
di Kabupaten Bireuen, Aceh, menuai keprihatinan dari sejumlah kalangan. Salah
satunya datang dari pemerhati kepemiluan dan aktivis demokrasi, Muhammad
Rajief.
Rajief menjelaskan bahwa dirinya
sebelumnya telah melaporkan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pilkada
di Kabupaten Bireuen kepada Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kabupaten
Bireuen. Selanjutnya, Panwaslih Kabupaten Bireuen meneruskan laporan tersebut
ke DKPP sebagai pelapor resmi.
Namun, di tengah proses tersebut,
Panwaslih Kabupaten Bireuen justru mencabut laporan yang telah diajukannya ke
DKPP. Atas dasar pencabutan itu, DKPP memutuskan untuk menghentikan pemeriksaan
perkara dugaan pelanggaran kode etik tersebut.
Rajief menyampaikan keprihatinan
mendalam atas keputusan DKPP tersebut. Ia menilai, penghentian pemeriksaan
perkara hanya karena laporan dicabut oleh pelapor, dalam hal ini Panitia
Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kabupaten Bireuen, merupakan langkah yang dapat
mengancam prinsip-prinsip dasar dalam penegakan etika pemilu .
“Etika pemilu (pilkada) adalah
urusan publik. Ia tidak boleh disandera oleh dinamika personal antara pelapor
dan terlapor,” tegas Rajief dalam keterangannya, Kamis (29/5/2025).
Menurutnya, keputusan untuk
menghentikan perkara etik semestinya tidak bergantung semata pada keberlanjutan
laporan. Lebih jauh, Rajief mengingatkan, jika sebuah perkara telah memasuki
tahap verifikasi material sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggaraan Pemilihan Umum, maka proses
pemeriksaan etik harus tetap berjalan demi kepentingan publik dan marwah
demokrasi.
“Pasal 19 itu jelas menyebutkan,
perkara yang sudah memenuhi syarat verifikasi material tetap dapat diproses,
meskipun pengadu mencabut laporannya. Artinya, DKPP memiliki kewenangan dan
tanggung jawab untuk tetap memeriksa perkara demi memastikan dugaan pelanggaran
etika dapat dituntaskan,” jelasnya.
Rajief menilai, keputusan
penghentian perkara ini dapat menjadi preseden buruk dalam penegakan etika
penyelenggara pemilu. Ia khawatir, langkah tersebut membuka ruang kompromi,
intervensi, bahkan tekanan terhadap pelapor agar menarik laporannya demi menyelamatkan
pihak terlapor dari proses etik.
“Jika pola ini dibiarkan, maka ke
depan setiap dugaan pelanggaran etik bisa saja dihindari hanya dengan cara
mencabut laporan. Ini berbahaya bagi integritas pemilu dan merusak tatanan
moral dalam penyelenggaraan demokrasi,” kata Rajief.
Sebagai bentuk protes, pihaknya
akan mengirimkan surat terbuka kepada DKPP. Surat tersebut berisi desakan agar
DKPP tetap memproses perkara dugaan pelanggaran etik yang telah memenuhi syarat
verifikasi material, meskipun laporan telah dicabut oleh pengadu.
“DKPP harus menjadi penjaga moral
demokrasi, bukan sekadar pengelola prosedur administratif. Keputusan untuk
menghentikan pemeriksaan perkara seharusnya berdasarkan prinsip hukum,
kepentingan publik, dan tegaknya kode etik, bukan semata-mata karena laporan
ditarik,” tegas Rajief.
Dalam pandangannya, etika
penyelenggara pemilu (pilkada) bukan hanya soal relasi antara pelapor dan
terlapor, melainkan menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemilu
sebagai institusi yang wajib menjaga integritas dan kredibilitas proses demokrasi.
Rajief juga menyayangkan minimnya
transparansi dalam proses pengambilan keputusan penghentian perkara tersebut.
Ia berharap DKPP dapat memberikan penjelasan terbuka kepada publik mengenai
dasar pertimbangan hukum dan etika yang digunakan dalam menghentikan
pemeriksaan perkara tersebut.
“Keterbukaan informasi adalah
prinsip utama dalam menjaga kepercayaan publik. DKPP wajib menjelaskan alasan
penghentian perkara ini secara transparan kepada masyarakat, agar tidak
menimbulkan persepsi negatif terhadap lembaga yang seharusnya menjadi benteng
terakhir etika penyelenggaraan pemilu,” ujar Rajief.
Lebih lanjut, Rajief mengajak
masyarakat sipil, organisasi pemantau pemilu, dan akademisi untuk bersama-sama
mengawal proses etika penyelenggara pemilu, agar setiap dugaan pelanggaran
dapat ditindaklanjuti secara adil, objektif, dan tidak diintervensi oleh
kepentingan tertentu.
“Integritas pemilu bukan hanya
ditentukan oleh hasilnya, tetapi juga oleh prosesnya. Salah satu fondasi
penting dalam proses itu adalah tegaknya kode etik penyelenggara. Jika etika
bisa dinegosiasikan, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemilu bisa runtuh,”
tegasnya.
Menurutnya, DKPP harus konsisten
memegang prinsip bahwa perkara etik merupakan urusan publik. Dengan demikian,
pelapor dan terlapor bukan satu-satunya pihak yang berkepentingan dalam perkara
tersebut, melainkan juga masyarakat luas yang memiliki hak atas penyelenggara
pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat.
Di akhir pernyataannya, Rajief
kembali menegaskan komitmennya untuk terus mengawal persoalan ini. Ia berharap
DKPP dapat mengevaluasi kembali keputusan tersebut dan menempatkan kepentingan
publik di atas kepentingan personal maupun politis.
“Kami akan kirimkan surat terbuka kepada DKPP sebagai bentuk dorongan moral. Harapannya, DKPP dapat menunjukkan ketegasan dan konsistensinya sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu. Ini penting untuk menjaga kualitas demokrasi kita ke depan,” tutup Rajief.