![]() |
Ketua Komite Independen Aceh (KIA), Muhammad Tori |
NEWSRBACEH I BANDA ACEH –
Kesejahteraan rakyat Aceh kembali mencuat dalam wacana publik, mempertanyakan
efektivitas implementasi Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) dan membuka
ruang diskusi tentang opsi referendum sebagai jalan alternatif.
Pasca konflik berkepanjangan,
berbagai butir kesepakatan dalam MoU Helsinki dinilai masih jauh dari kata
tuntas. Isu-isu krusial seperti peningkatan kesejahteraan, pengelolaan sumber
daya alam (SDA) yang lebih adil, pembangunan infrastruktur, dan penambahan
batalion TNI, dianggap masih mangkrak dan justru dianggap sebagai bentuk
pengkhianatan terhadap janji perdamaian.
Ketua Komite Independen Aceh
(KIA), Muhammad Tori, menyatakan kepada newsrbaceh.com senin 15 september 2025,
bahwa ketidakpastian dan lambatnya pelaksanaan MoU Helsinki memicu kekecewaan
mendalam di masyarakat. "Jika MoU Helsinki tidak mampu memberikan
kesejahteraan yang diharapkan, maka referendum mungkin menjadi pilihan yang
lebih berani untuk mengambil kontrol atas menentukan nasib Aceh ke
depannya," ujarnya.
Tori mempertanyakan komitmen
pemerintah pusat. "Apakah Pemerintah pusat siap untuk melepaskan kontrol
dan memberikan kesempatan kepada rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka
sendiri? Atau pemerintah akan terus mempertahankan status quo dan mengabaikan
aspirasi rakyat Aceh?"
Desakan ini muncul dari rasa
frustasi rakyat Aceh yang telah lama menanti realisasi janji-janji pasca
perdamaian. Pesan yang disampaikan jelas: rakyat Aceh tidak akan diam menunggu
janji yang tak kunjung terwujud. Tuntutan untuk keadilan dan kesejahteraan akan
terus bergaung, baik melalui perjuangan memenuhi MoU Helsinki atau dengan
membuka wacana referendum.
Namun, Tori juga menekankan
pentingnya kolaborasi. "Dalam mencari solusi, penting bagi semua pihak
untuk bekerja sama dan berkomitmen pada tujuan bersama. Baik melalui MoU
Helsinki atau referendum, yang terpenting adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Aceh dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan."
Solusi akhir, menurutnya,
terletak pada dialog yang konstruktif, transparansi, dan partisipasi aktif
semua pihak terkait. Hanya dengan cara itu solusi yang tepat dan adil bagi
rakyat Aceh dapat ditemukan, sebelum opsi-opsi yang lebih radikal seperti referendum
mendapatkan lebih banyak dukungan dari akar rumput.